<div style='background-color: none transparent;'><a href='http://news.rsspump.com/' title='rsspump'>news</a></div>
Subscribe For Free Updates!

We'll not spam mate! We promise.

Kenapa Mendewakan Pemimpin adalah Tindakan Yang Bodoh


Fundamental Attribution Error

1984 adalah novel yang ditulis oleh George Orwell dan bercerita tentang keadaan totaliter. Diceritakan jika dunia terbagi menjadi 3 kubu yang saling berperang.

Di tengah perang yang berkecamuk lahirlah ‘Bung Besar’ sang juru selamat. Seorang pemimpin revolusioner yang memimpin Oceania melawan Eurasia dan Eastasia.

Diceritakan jika Bung Besar adalah manusia yang sempurna. Perintahnya adalah titah. Prediksinya tak pernah keliru (jika salah, kementrian kebenaran akan mengedit berita di masa lalu). Jika Anda berani mengkritik Bung Besar, akan ada polisi pikiran yang siap memenjarakan Anda.

Semua media memuja Bung Besar. Semua masyarakat memuji Bung Besar. Anda harus hafal slogan kementrian kebenaran yang terkenal:

Perang ialah damai
Kebebasan ialah perbudakan
Kebodohan ialah kekuatan


1984 diterbitkan pada 1949 dan baru saya baca pada 2016. Tapi pesannya tetap relevan: betapa mudahnya kita mengagungkan seseorang dan jatuh pada fundamental attribution error.
Fundamental attribution error adalah kecenderungan untuk meng-over estimate peran seseorang, dan melupakan factor eksternal yang terjadi.

Contohnya kita mengagungkan Sukarno sebagai bapak revolusi tapi melupakan peran sekutu yang membuat Jepang kalah lebih cepat. Kita lalu memuji Suharto sebagai bapak pembangunan tapi melupakan bantuan Negara maju yang mayoritas diperoleh lewat utang dan konsesi sumber daya alam.

Saat ada perusahan yang sukses, kita langsung mengganggap sang CEO sebagai dewa tanpa melihat kondisi makro perekonomian. Ketika ada tim olahraga yang bisa menjadi juara seperti Leicester, kita langsung mengarahkan lampu sorot kepada sang striker macam Vardy atau Mahrez tanpa mau mencari tahu apa yang terjadi pada Big Four dan tim lainnya.

Bahaya dari fundamental attribution error adalah munculnya fanatisme dan hilangnya sikap objektif dalam menilai sesuatu. Kita yang terpukau oleh pesona pribadi, bisa terkena hallo effect dan menganggap apapun yang dilakukannya adalah benar, dan tak pernah salah.

Sama seperti yang terjadi dengan debat kusir di media social menjelang Pilkada. Kelompok pro akan menyebut jika semua keberhasilan adalah hasil kerja Pak Ahoy atau Jokori. Sedangkan kelompok kontra akan merinci semua kegagalan dan menyalahkannya ke pundak mereka.

Percayalah, bangsa besar tidak lahir dalam perdebatan. Membela mati-matian atau mengkritik habis-habisan seorang pemimpin tidak akan menambah IQ, pendapatan perkapita, atau jumlah karya ilmiah calon pemenang Nobel.

Debat kusir hanya akan menambah fundamental attribution error yang telah terjadi.

(sumber tulisan Yoga Ps)