Beberapa survei menyebutkan, masyarakat saat rindu dengan era pemerintahan Soeharto. Namun, hasil riset terakhir Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menunjukkan, masyarakat rindu pada kepemimpinan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dan Soekarno.
Survei LSI ini khusus memotret perlindungan pemerintah terhadap keberagaman agama, etnis, dan kepercayaan yang ada di Indonesia. Survei dilakukan terhadap 440 responden di seluruh Indonesia pada 7-8 November 2012. Margin of error diperkirakan plus minus 4,8 persen.
.
Salah satu pertanyaan yang diajukan ke responden adalah, apakah presiden Indonesia di bawah ini melindungi keberagaman yang ada. Hasilnya, 82 persen responden menganggap Soekarno melindungi keberagaman, Soeharto sebanyak 75 persen, BJ Habibie 42 persen, Gus Dur 81 persen, Megawati 52 persen, dan SBY paling buruk yaiu 41 persen.
“Dari sisi isu keberagaman, masyarakat merindukan masa Bung Karno dan Gur Dur,” ujar peneliti LSI Adjie Alfaraby di Kantor LSI, Jalan Pemuda, Jakarta Timur, Minggu (23/12).
Menurut Adjie, dibanding isu ekonomi, isu keberagaman alias pluralisme memang memiliki porsi lebih kecil. Namun, saat ini masyarakat juga mulai menganggap, menjaga keberagaman dan melindungi kaum minoritas adalah hal penting. Buktinya, dari segi agama sebanyak 88,84 persen responden menilai, semua pemeluk agama harus diperlalukan sama. Hanya 9,15 persen responden yang menyatakan agama mayoritas harus diperlalukan lebih istimewa.
.
“Artinya, publik tidak suka dengan pelaku disktiminatif,” jelas Adjie.
Publik juga prihatin jika melihat ada kaum minoritas diperlakukan lebih buruk dibanding kaum mayoritas. Dari segi suku, yang mengaku prihatin sebanyak 84,18 persen, yang mengaku biasa saja hanya 6,87 persen. “Mayoritas publik tidak menerima diskriminasi atas suku atau agama minoritas,” imbuhnya.
Hal ini berkorelasi dengan keinginan publik terhadap sosok presiden pengganti SBY nanti. Publik berharap, presiden nanti lebih peduli dan mau melindungi keberagaman. “Sebanyak 87,6 menginginkan capres 2014 bisa melindungi keberagaman,” imbuhnya.
.
Angka ini, lanjutnya, cukup besar. Dengan kenyataan ini, capres-capres yang mau maju harusnya lebih berani bicara isu-isu pluralisme. Sayangnya, hingga kini capres-capres yang ada belum berani bicara itu. Capres-capres lebih senang bicara soal ekonomi dan pemberantasan kemiskinan.
“Belum ada satu pun capres yang mau bicara secara terbuka tentang keberagaman. Mareka rata-rata taku kena hukuman masyoritas kalau salah ucap. Padahal, sesungguhnya mayoritas publik menginginkan pemimpin yang konsen dan melindungi keberagaman,” jelasnya.
.
Dari capres-capres yang sudah muncul, Adjie juga belum belum ada calon yang menonjol dalam perlindungan keberagaman. Megawati saat jadi presiden prestasinya dalam melindungi keberagaman tidak terlihat. Aburizal Bakrie alias Ical juga tidak punya prestasi. Yang paling buruk adalah Prabowo Subianto, sebab dia disebut-sebut terlibat dalam tindakan diskriminasi terhadap warga Tionghoa pada tragedi Mei 1998.
.
Untuk Mahfud MD dan Dahlan Iskan yang disebut-sebut sebagai capres altenatif belum bisa dilihat prestasinya. Sebab, selama ini keduanya belum punya kesempatan memimpin dan belum bicara. “Untuk Jokowi memang sedikit menonjol. Tapi itu karena dia mau berdampingan dengan Ahok, bukan dari kebijakannya,” tandas Adjie. (http://www.rmol.co/)