Terlihat betapa malang nasib rakyat yang terpaksa hidup menderita sebagai korban fenomena krisis kepemimpinan wani piro. Dalam fenomena politik uang itu orang terpilih menjadi pemimpin bukan berdasarkan karisma maupun kemampuannya memimpin sesuai kapasitas yang dibutuhkan, melainkan semata karena unggul dalam luas dan besarnya jumlah uang yang ia bagikan.
Di bawah kepemimpinan seperti itu, selain tak mampu juga orientasi utamanya mengembalikan modal yang telah dia tabur, lalu mencari untung dari jabatannya agar bisa memenangkan pemilihan berikutnya! Masalah kemiskinan dan perbaikan kehidupan rakyatnya tak tertangani maksimal. Akibatnya kejahatan bermotif ekonomi merebak, ketimpangan sosial melebar, sumbu kerusuhan jadi makin pendek.
Banyak hal yang bisa dipetik dari pilgub DKI Jakarta. Pakar psikologi politik dari Universitas Indonesia (UI), Prof Dr Hamdi Muluk MSi, menyebut beberapa hal yang bisa dijadikan pelajaran bagi partai politik dan para elit-elitnya, terutama para kandidat yang akan maju di pemilihan kepala daerah.
Kemenangan pasangan calon gubernur (cagub) dan calon wakil gubernur (Cawagub) DKI Jakarta Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok), menunjukkan pergeseran perilaku politik.
Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia (UI), Hamdi Muluk, menjelaskan, ada perubahan dari politik yang berporos pada uang dan kekuasan ke politik yang berpusat pada publik.
“Logika selama ini salah dibangun, orang berpikir politik itu wani piro, dan Anda punya kekuasa apa. Namun Jokowi-Ahok mengubah hal tersebut,” terang Hamdi,
“Kalau politik pencitraan hanya akan disambut konsultan politik saja. Politik glamour, besar, dan retorika, harus kembali ke tindakan,” imbuhnya. Kemenangan Jokowi-Ahok merupakan kebangkitan figur humanis, bukan pejabat.
Kalau Foke-Nara tampil sebagai pejabat, sedangkan Pak Jokowi figur manusia. Rakyat lebih menyukai sosok yang apa adanya, tidak berlagak sok pejabat, politisi bergaya apa adanya yang justru disukai rakyat. Masyarakat, lanjutnya, sudah muak dengan elit yang bergaya sok pejabat. "Bahwa berpolitik harus berawal dari otentisitas, tidak pura-pura, tidak dibuat-buat, tidak dibungkus pencitraan," kata pria kelahiran Sumbar itu.
Selain itu, kata dia, kemenangan Jokowi-Ahok juga membuat arah politik berubah menjadi sinergi kekuatan bawah. (Berbagai sumber)
Selain itu, kata dia, kemenangan Jokowi-Ahok juga membuat arah politik berubah menjadi sinergi kekuatan bawah. (Berbagai sumber)