Pesta demokrasi membuahkan banyak hal. Hadirnya elemen-elemen yang mengkonstruksi makna demokrasi dalam sistem kenegaraan menyemarakkan kehidupan sebagai warga negara. Semua orang tak ingin ketinggalan dalam proses demokrasi bahkan terkadang demokrasi dijadikan sebagai alat pemuas kebutuhan.
Berbicara tentang pemilu dan partai politik memang tak akan ada habisnya. Sejak pertama kali pemilu diadakan pada tahun 1955 silam, proses demokratisasi berjalan lambat tanpa perkembangan yang berarti. Dari tiga kelahiran partai politik sebagai sentralitas kekuatan yang harus diberdayakan, saat ini sudah beranak-pinak menjadi lima-puluh satu partai politik. Sudahkah proses demokratisasi berjalan sebagaimana mestinya? Belum. Sebab kehadiran lima-puluh satu partai politik dalam proses pemilihan umum mendatang masih dianggap sebuah kesia-siaan. Tak perlu banyak partai bila azas berkehidupan pun masih disalahartikan.
Salah satu agenda dalam proses pendemokratisasian adalah dengan adanya Pemilihan Umum (Pemilu). Dalam pemilu, rakyat menjadi elemen krusial. Sebab tanpa rakyat, manusia-manusia yang mencalonkan diri sebagai wakil legislatif dari masing-masing partai tak akan kebagian peran apapun. Ironisnya, sepertinya sebagian besar dari mereka mencalonkan diri karena selama ini memang tidak memiliki peran yang signifikan dalam keseharian. Menyedihkan.
Berbicara tentang pemilu dan partai politik memang tak akan ada habisnya. Sejak pertama kali pemilu diadakan pada tahun 1955 silam, proses demokratisasi berjalan lambat tanpa perkembangan yang berarti. Dari tiga kelahiran partai politik sebagai sentralitas kekuatan yang harus diberdayakan, saat ini sudah beranak-pinak menjadi lima-puluh satu partai politik. Sudahkah proses demokratisasi berjalan sebagaimana mestinya? Belum. Sebab kehadiran lima-puluh satu partai politik dalam proses pemilihan umum mendatang masih dianggap sebuah kesia-siaan. Tak perlu banyak partai bila azas berkehidupan pun masih disalahartikan.
Ketika pemilu akan diadakan, partai-partai politik akan sibuk mencalonkan wakil-wakilnya untuk dapat duduk di kursi legislatif. Cara-cara yang dilakukan pun cenderung basa-basi. Cara-cara yang mengetengahkan penyombongan diri, dan memuji diri sendiri. Wajah-wajah mereka terpampang di baliho, spanduk, poster, flyer, gelas, piring, stiker, kaos, celana dalam, sampai sikat gigi—kalau ada.
Tak mengherankan bila masyarakat sudah begitu Apatis dengan demokrasi. Sebab demokrasi tidak pernah menyentuh Aspek kerakyatan. Kemiskinan tetap meraja dan kehidupan tak lepas dari problema. Lima-puluh satu partai sibuk menghadang laju perkembangan dengan rencana-rencana picik mereka. Tak ada satu partai pun yang lepas dari keoportunisan. Mereka menghadirkan nuansa putih namun hati mereka hitam kelam.
Kalau dipikir-pikir, kenapa harus ada lima-puluh satu partai bila visi-misi mereka stagnan dan cenderung basi. Tak perlu banyak partai bila akhirnya hanya akan adu jotos di gedung dewan. Tak perlu banyak partai untuk membuktikan bahwa proses demokrasi sudah berjalan. Dari semua hal yang telah dilakukan dalam proses kampanye menuju pemilu, narsisme menjadi aspek paling utama yang diangkat dan diberdayakan. Pemajangan foto konyol dalam ukuran besar, penyematan gelar Akademik tanpa bukti, dan peletakan omong-kosong mengenai janji-janji—tak lebih sebuah strategi kotor yang membuktikan bahwa mereka hanya bisa menjual muka.
Apakah masyarakat telah mengenal mereka semua yang mengajukan diri sebagai wakil legislatif dan katanya akan berjuang untuk kesejahteraan rakyat? Ah—omong kosong ini tak akan pernah terhenti sampai masyarakat mengeluhkan akan realisasi dari janji-janji yang pernah mereka ucapkan. Kalau begitu, sekali lagi saya ingin bertanya—perlukah lima-puluh satu partai dibentuk dan diakomodasi?
Masyarakat sudah kepalang apatis dengan politik. Partai-partai lama dengan euforia masa lalu pun masih memegang peranan penting dalam membangun Basis massa. Calon-calon wakil rakyat pun sebagian besar tidak dikenali oleh masyarakat. Mereka menghadirkan diri tanpa prospek yang berarti. Tanpa terbersit untuk melakukan tindakan nyata yang dapat mengkonstruksi kredibilitas dan akuntanbilitas mereka.
Kalau dipikir-pikir, untuk apa banyak partai kalau tak ada satu pun yang merealisasikan janji. Lebih baik mereka berkoalisi menjadi satu partai bernama PGN (Partai Gila Narsis). Sebab narsisme sudah sedemikian berjingkrang di negeri ini. Bila Koalisi ini direalisasikan, maka melalui PGN, mereka bebas membual dan memajangkan omong-kosong. Sebab melalui koalisi ini justru membebaskan para anggota beserta kader-kadernya untuk semakin kreatif dalam membual dan menciptakan omong-kosong belaka. Poster-poster ataupun spanduk kampanye mereka tentunya bukan hanya pemajangan pas photo yang sudah dibuat kinclong sedemikian rupa, tapi akan dipajang foto mereka saat sedang berlibur sambil bertelanjang dada, ataupun memajang foto-foto mesum saat mereka tengah bercinta. PGN akan menjadi sebuah media representatif bagi manusia-manusia yang ingin menyalurkan hobi bernarsis dan bereksibisionis ria. Sehingga dapat diyakini bahwa koalisi ini akan menjadi wadah yang tepat bagi segala bentuk omong kosong. Tak perlu lagi peletakan embel-embel perjuangan untuk menyejahterakan. Lebih baik kelima-puluh satu partai tersebut bersatu untuk membangun manusia Indonesia menjadi manusia yang tak kalah gila dengan mereka dalam bernarsis ria.