...Tak lama setelah itu
melalui media massa LB Moerdani menyatakan mundur dari pencalonannya. Umat
Islam di negeri ini menjadi lega dan suhu politik kembali normal.
Tombak Trisula Gus Dur
(Memahami sepak terjang almarhum Gus Dur dalam menolak pemimpin Non Muslim
dengan ilmu hikmah tanpa harus menghujat, mencaci maki apalagi memprovokasi)
“Mas Rozaq, saya ingin
mengakhiri safari saya dengan Pak Beny di Pesantren Al-Muayyad. Bagaimana?”
Begitu kata dan tanya Gus Dur kepada saya di tahun 1987-an.
Masa itu mantan Ketua
Tanfidhiyah PBNU itu memang sedang gencar melakukan safari keliling ke beberapa
tempat dan pesantren di beberapa daerah. Itu beliau lakukan bersama LB
Moerdani, seorang jenderal di masa itu yang biasa disapa Pak Beny.
Perjalanan itu beliau
lakukan bukan tanpa sebab dan alasan serta tujuan yang hendak dicapai. Saat itu
Presiden Soeharto yang masa bhaktinya hampir habis akan mencalonkan diri
kembali sebagai presiden di republik ini. Kali ini ia ingin menggandeng Pak
Beny—yang nota bene beragama nasrani—sebagai wakilnya.
Melihat kenyataan ini
masyarakat Indonesia, umat Islam khususnya, bereaksi. Mereka menolak rencana
Pak Harto yang akan menjadikan Pak Beny sebagai wakil presiden. Suhu politik
meningkat. Gus Dur melihat hal ini bila dibiarkan dan tidak diambil langkah
yang tepat akan membawa dampak yang serius bagi kelangsungan kehidupan bangsa
besar ini. Maka beliaupun cepat bertindak dengan caranya sendiri.
Secara terang-terangan
Gus Dur mempublikasikan bahwa ia mendukung dan mencalonkan LB Moerdani sebagai
presiden menggantikan Soeharto. Sikap ini jelas mengundang reaksi panas. Umat
Islam secara umum, termasuk warga Nahdliyin yang selama ini sendika dhawuh
kepada Gus Dur, menolak mentah-mentah sikap Gus Dur. Mereka mencaci beliau
sebagai orang yang berkhianat kepada umat Islam karena mencalonkan seorang
nasrani sebagai presiden.
Pun dengan Presiden
Soeharto. Dukungan Gus Dur sebagai seorang tokoh dengan massa puluhan juta jiwa
terhadap LB Moerdani jelas-jelas menohok Pak Harto. Pak Beny yang sedianya akan
digandeng sebagai wakil kini justru diposisikan—dan mau—sebagai calon presiden
sebagai pesaingnya. Jelas ini membuat Pak Harto marah besar dan pada akhirnya
nanti tak jadi menggandeng Moerdani sebagai wakilnya.
Namun bukan Gus Dur
namanya bila reaksi panas itu menyurutkan langkahnya. Sengaja ia membawa Pak
Beny bertemu dengan warga Nahdliyin di banyak tempat di seantero Indonesia. Ini
menjadikan Pak Harto makin tak suka dan umat Islam makin membenci Gus Dur.
Akhir dari perjalan itu adalah di Pondok Pesantren Al-Muayyad, Solo. Ketika Gus Dur meminta ijin pada saya untuk menggelar acara di sini saya menyetujui. Maka di gelarlah acara itu. Ratusan ulama se-Jawa Tengah hadir. Juga Rais Am PBNU saat itu yang dipegang oleh KH. Ahmad Sidiq, Jember.
Saat LB Moerdani akan
memberikan sambutannya di atas panggung ia dikalungi sorban, kalau tidak salah
oleh Kyai Sidiq. Lalu saat beliau menuju panggung Kyai Sidiq berbisik pada Gus
Dur, “Kerbau kalau sudah dicucuk hidungnya pasti nurut.” Gus Dur terkekeh
mendengarnya.
Saat acara seremonial
usai dan semuanya menikmati makan siang kami berempat duduk memisah; saya, Gus
Dur, Kyai Sidiq, dan Pak Beny. Di tengah-tengah makan siang itulah semuanya
diakhiri. Kyai Sidiq secara jelas dan tegas berkata kepada Pak Beny, “Pak Beny,
Anda tahu tidak, dalam beberapa bulan terakhir ini Gus Dur dibenci dan dicaci
oleh hampir semua umat Islam di Indonesia yang selama ini menghormatinya. Anda
tahu apa sebabnya?” “Saya tidak tahu, Pak
Kyai?” jawab Pak Beny.
“Penyebabnya adalah
Anda, Pak Beny. Pencalonan Anda sebagai wakil dan presiden telah mengundang
kemarahan umat Islam. Itu artinya bangsa Indonesia tidak mau dipimpin oleh
orang nasrani. Maka, demi kebaikan bangsa ini, kami menyarankan Anda mundur
dari pencalonan baik sebagai wakil maupun presiden!”
Tak lama setelah itu
melalui media massa LB Moerdani menyatakan mundur dari pencalonannya. Umat
Islam di negeri ini menjadi lega dan suhu politik kembali normal.
“Begitulah Gus Dur. Ia
telah memainkan tombak trisulanya. Satu mata tombak ia arahkan kepada Pak Harto
agar merasa disaingi Pak Beny sehingga ia batalkan niatannya untuk menjadikan
jenderal itu sebagai wakil presiden. Mata tombak kedua ia arahkan pada umat
Islam agar marah sehingga dapat dijadikan alasan dan bukti nyata bahwa mereka
tak mau dipimpin oleh orang nasrani. Dan yang ketiga ia arahkan langsung pada
Pak Beny agar mundur dari pencalonannya. Ini semua beliau lakukan demi keutuhan
bangsa dan negara Indonesia, meski beliau harus menerima kecaman, cacian, dan
kebencian dari umatnya,” pungkas KH. Abdul Rozaq Shofawi, Pengasuh Pondok
Pesantren Al-Muayyad, Mangkuyudan, Surakarta.
Diceritakan
oleh KH. Abdul Rozaq Shofawi
Dikutip dari grup WA
Dikutip dari grup WA