Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengalami transformasi cepat dalam beradaptasi dengan iklim demokrasi di Indonesia. Partai yang awalnya bernama Partai Keadilan tersebut membuat keputusan kontroversial dengan menyatakan diri sebagai partai terbuka di Musyawarah Nasional di Bali pada tahun 2008. Kontroversi yang dihasilkan bukan saja didapat dari publik, tetapi juga dari internal partai atau jamaah mereka sendiri.
Partai yang ditengarai sebagai cabang dari Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir ini mendapatkan resistensi luar biasa dari internalnya, karena perubahan dari partai Islam menjadi partai terbuka dianggap menyalahi niat awal dakwah yakni memperjuangkan negara Islam. Publik di luar partai pun tidak langsung percaya dengan perubahan ini, bahkan banyak yang curiga bahwa ada agenda-agenda tertentu dibaliknya. Untuk membahas hal ini, Jaringan Islam Liberal (JIL) mengadakan diskusi buku “Dilema PKS: Antara Suara dan Syariah” yang secara khusus diangkat dari penelitian penulisnya sendiri Burhanuddin Muhtadi. Dalam diskusi tersebut, penulis disandingkan dengan Ulil Absar Abdalla dari JIL.
Partai yang ditengarai sebagai cabang dari Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir ini mendapatkan resistensi luar biasa dari internalnya, karena perubahan dari partai Islam menjadi partai terbuka dianggap menyalahi niat awal dakwah yakni memperjuangkan negara Islam. Publik di luar partai pun tidak langsung percaya dengan perubahan ini, bahkan banyak yang curiga bahwa ada agenda-agenda tertentu dibaliknya. Untuk membahas hal ini, Jaringan Islam Liberal (JIL) mengadakan diskusi buku “Dilema PKS: Antara Suara dan Syariah” yang secara khusus diangkat dari penelitian penulisnya sendiri Burhanuddin Muhtadi. Dalam diskusi tersebut, penulis disandingkan dengan Ulil Absar Abdalla dari JIL.
Burhanuddin Muhtadi menggunakan beberapa pendekatan dalam menganalisis gerakan tarbiyah. Salah satunya adalah struktur kesempatan politik (political opportunity structure) yang menjelaskan kenapa gerakan tarbiyah yang kemudian berevolusi menjadi PKS muncul. Awalnya, revolusi Islam Iran menjadi tonggak motivasi gerakan tarbiyah, walaupun akhirnya sadar bahwa revolusi Iran adalah kemenangan Syiah, bukan kemenangan Islam. Selain itu ada faktor geopolitik yang menyebabkan ketersebaran Ikhwanul Muslimin ke negara muslim lainnya.
Pada saat harga minyak melambung tinggi, otomatis perekonomian Arab Saudi pun meningkat. Namun masalah yang dihadapi pemerintah Saudi adalah langkanya tenaga sumber daya manusia. Sehingga pada saat itu Arab Saudi “mengimpor” tenaga-tenaga ahli dari Mesir yang sebagian besar adalah aktivis ikhwanul muslimin yang terusir oleh pemerintah otoriter. Sehingga pada saat itu hampir semua perpustakaan Arab Saudi diisi buku-buku Ikhwanul Muslimin. Dan disini, menurut Burhan terjadi mazhab baru perpaduan antara Wahabi-Ikhwan. Gerakan Ikhwan yang digagas oleh Hasan Al-Banna sebenarnya tidak banyak masuk ke ranah khilafiyah. Namun setelah terjadi pertemuan Ikhwan-Arab, menurut Burhan terjadi corak baru gerakan Ikhwanul Muslimin dengan masuknya ideologi Wahabi yang cenderung puritan.
Pada tahun 70-an Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), kelompok Islam modernis yang didirikan oleh M. Natsir semakin dekat dengan pemerintah Arab Saudi. Kedekatan kedua kelompok ini membawa keuntungan simbiosis mutualisme. Pemerintah Saudi ingin membendung meluasnya pengaruh Syiah ke Indonesia, sedangkan DDII berkesempatan mengirimkan banyak mahasiswanya untuk belajar di Arab Saudi. Di Arab Saudi lah banyak mahasiswa DDII yang mendapat semangat revivalisme Islam. Puncaknya adalah kerjasama antara Pemerintah Indonesia dan Arab Saudi dengan mendirikan Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam Arab (LIPIA) sebagai cabang Universitas Imam Ibnu Saud di Riyadh. Dosen yang didatangkan langsung dari Saudi, sebagian besar adalah aktivis Ikhwan. Sehingga penyebaran revivalisme Islam ala Ikhwanul Muslimin disebarkan langsung di Indonesia.
Pada saat harga minyak melambung tinggi, otomatis perekonomian Arab Saudi pun meningkat. Namun masalah yang dihadapi pemerintah Saudi adalah langkanya tenaga sumber daya manusia. Sehingga pada saat itu Arab Saudi “mengimpor” tenaga-tenaga ahli dari Mesir yang sebagian besar adalah aktivis ikhwanul muslimin yang terusir oleh pemerintah otoriter. Sehingga pada saat itu hampir semua perpustakaan Arab Saudi diisi buku-buku Ikhwanul Muslimin. Dan disini, menurut Burhan terjadi mazhab baru perpaduan antara Wahabi-Ikhwan. Gerakan Ikhwan yang digagas oleh Hasan Al-Banna sebenarnya tidak banyak masuk ke ranah khilafiyah. Namun setelah terjadi pertemuan Ikhwan-Arab, menurut Burhan terjadi corak baru gerakan Ikhwanul Muslimin dengan masuknya ideologi Wahabi yang cenderung puritan.
Tokoh PKS Hidayat Nur Wahid Pimpin Tahlilan |
Pada pemilu tahun 1999, gerakan Tarbiyah berubah menjadi partai politik, Partai Keadilan (PK). Namun hasilnya tidak terlalu menggembirakan, karena hanya mendapat 1,3 persen sehingga tidak lolos electoral treshold. Menurut Burhan, pada saat itu PK sama sekali bukan partai massa yang berorientasi pada banyaknya suara, namun partai kader. Pada saat itu, pengurus tingkat kecamatan saja banyak yang bergelar doktor. Mereka berkampanye hal yang sifatnya ideologis seperti pemberlakuan syariat Islam. Ini lah yang kemudian dirubah oleh elit PKS menjelang pemilu 2004. Mereka cenderung menjauhi hal-hal yang bersifat ideologis, dan lebih menonjolkan hal yang bersifat universal seperti anti korupsi dan masalah lainnya. Hal ini yang menjelaskan melejitnya PKS di pemilu 2004, dari 1,3 persen menjadi sekitar 7 persen suara.
Presiden PKS Tifatul Sembiring Nyarkub Bareng Pak Nuh |
Ulil Abshar Abdalla yang menjadi pembanding presentasi Burhan, menyatakan bahwa perubahan PKS dari partai islamis-ideologis menjadi partai pragmatis-terbuka adalah kerugian besar bagi demokrasi Indonesia. Demokrasi yang sehat, menurut Ulil adalah demokrasi yang didalamnya ada diskusi berimbang antara berbagai partai, baik partai sekuler maupun partai yang diinspirasi oleh agama. Kondisi partai di Indonesia akhir-akhir ini sedikit tidak sehat dengan semakin banyaknya partai yang secara ideologis bergerak ke tengah. Dengan kata lain, partai-partai lepas dari ideologinya semakin tidak jelas apa “kelamin”-nya. Akibatnya, kebijakan yang dibuat semakin tidak jelas dan cenderung populis. Ulil menyayangkan di Indonesia tidak ada partai seperti green party di Eropa yang rela tidak menjadi partai besar, tetapi asal bisa masuk parlemen dan merubah diskusi disana dengan arah ideologis mereka.
Di akhir diskusi Burhan menjawab beberapa pertanyaan, diantaranya apakah PKS benar-benar tulus berubah menjadi partai terbuka. Burhan menjawab, bagaimana pun mengharapkan PKS menjadi benar-benar terbuka agaklah sulit. Karena faktor keterbukaan PKS adalah dikarenakan alasan-alasan pragmatis. Burhan menyebutkan bahwa alasan PKS menjadi partai terbuka bukan hanya untuk alasan suara/elektoral, tetapi juga masalah finansial. Seperti yang kita tahu, bahwa sebagian besar aset nasional dikuasai oleh orang-orang non-muslim. Sehingga keterbukaan PKS cenderung lebih untuk menyembunyikan agenda sebenarnya (taqiyyah), daripada tulus ingin terbuka.
*Oleh Rofi Uddarojat, Penulis adalah mahasiswa Universitas Paramadina, Jakarta dan aktivis Youth Freedom Network (YFN). (Disadur dari http://islamlib.com/id/artikel/pks-kepentingan-suara-mengalahkan-syariat)