Politik Kartel
Dalam filsafat atau ilmu politik, sebenarnya wacana politik kartel bukan merupakan hal baru. John Atkinson Hobson, seorang ekonom Inggris liberal-kiri, pernah memperkenalkan konsep kartel-ekonomi modern sebagai tanggapan terhadap situasi ekonomi antara 1902 dan 1938. Lalu, ada pula Karl Kautsky, pakar demokrasi sosial, yang sejak 1912 menyebutkan bahwa negara-negara besar, seperti Inggris dan Jerman, pernah membentuk kerja sama sebagai ”negara kartel” demi memenangi Perang Dunia II.
Dalam filsafat atau ilmu politik, sebenarnya wacana politik kartel bukan merupakan hal baru. John Atkinson Hobson, seorang ekonom Inggris liberal-kiri, pernah memperkenalkan konsep kartel-ekonomi modern sebagai tanggapan terhadap situasi ekonomi antara 1902 dan 1938. Lalu, ada pula Karl Kautsky, pakar demokrasi sosial, yang sejak 1912 menyebutkan bahwa negara-negara besar, seperti Inggris dan Jerman, pernah membentuk kerja sama sebagai ”negara kartel” demi memenangi Perang Dunia II.
Sedangkan konsep partai kartel pertama dimunculkan pada 1992 oleh Peter Mair dan Richard S. Katz dalam beberapa karya mereka, antara lain dalam “Changing Models of Party Organization and Party Democracy”. Konsep partai kartel merujuk pada kehadiran partai politik sebagai sarana kerja sama atau “kolusi” berbagai pihak demi meraih kekuasaan atau melanggengkan kekuasaan yang sudah diraih.
Kemudian gagasan di atas dipertegas oleh Daniel Katz dan Peter Mair pada 1995, yang mencermati fenomena munculnya partai-partai baru yang disebut sebagai partai kartel. Partai kartel semula merupakan partai massa. Partai massa kerap tersingkir dalam kontes politik yang disebut pemilu karena idealismenya untuk mewujudkan cita-cita politik, yakni ”bonum commune”. Namun, dalam perjalanan waktu, idealisme itu terjebak pragmatisme, sehingga mereka mau melakukan koalisi dengan partai penguasa demi mewujudkan politik kekuasaan dari penguasa yang sedang berkuasa.