Cara Australia Sadap Indonesia
Komunikasi Indonesia selama ini disadap Singapore Telecom (SingTel), operator telekomunikasi milik pemerintah Singapura. Singtel yang memiliki 35 persen saham di Telkomsel ini disebut oleh Edward Snowden, intelijen AS yang menjadi whistleblower, memfasilitasi akses bagi badan-badan intelijen yang mencakup telepon dan lalu lintas internet.
Demikian informasi yang disampaikan Sydney Morning Herald, Jumat (22/11). Media Australia itu menyebutkan, apa yang dilakukan SingTel adalah bagian dari kemitraan antara badan-badan intelijen negara, yang meluas ke rekan Inggris dan Amerika, untuk memanfaatkan kabel serat optik bawah laut yang menghubungkan Asia, Timur Tengah dan Eropa (SEA-ME-WE).
SEA-ME-WE-3 merupakan kabel serat optik telekomunikasi bawah laut yang selesai pada tahun 2000 dengan panjang 39.000 km.
Menurut SMH yang dikutip juga dari IndoICT, berdasarkan data dari intelijen Australia didapat informasi bahwa Singapura bekerja sama dalam mengakses dan berbagi komunikasi yang dibawa oleh kabel SEA-ME-WE-3 kabel. Badan nasional Australia juga mengakses lalu lintas kabel SEA-ME-WE-3 yang mendarat di Perth.
Dengan kabel yang melintasi Asia Tenggara, Timur Tengah dan Eropa Barat, maka hampir semua negara yang dilintasi dalam posisi tidak aman. Pasalnya, selain Singapura dan Australia, Inggris dan Amerika pun mendapat informasi penting hasil penyadapan. Praktik ini disebut-sebut sudah berjalan hingga 15 tahunan.
Program penyadapan yang dilakukan untuk memanen data dari email, pesan instan (instan messaging), telepon password dan sebagainya, yang dilakukan dari lalu lintas data melalui kabel serat optik bawah laut diketahui berkode sandi TEMPORA. TEMPORA merupakan program intersepsi yang dimotori Inggris melalui Government Communications Headquarters (GCHQ).
Selain itu, kabar mengejutkan mengenai penyadapan yang terjadi di Indonesia juga disampaikan harian The Australian. Media ini menuliskan bahwa pemerintah Australia juga menyadap satelit Palapa milik Indonesia. Pihak yang diduga menyadap adalah Australian Signals Directorate (ASD), salah satu direktorat di Kementerian Pertahanan Australia yang bertanggung jawab atas signals intelligence (SIGNIT).
Informasi mengenai penyadapan satelit ini diungkap Des Ball, professor dari Australian National University's Strategic and Defence Studies Centre. Dalam artikel itu, Satelit Palapa disebut-sebut sebagai sasaran kunci penyadapan yang dilakukan Australia.
Sebelum mencuat soal penyadapan satelit Palapa, surat kabar Australia Sidney Morning Herald pada 29 Oktober 2013 juga mengabarkan adanya penyadapan yang dilakukan pemerintah AS terhadap pemerintah Indonesia. Bahkan bukan hanya Jakarta, AS juga disebut-sebut menyadap semua negara di Asia Tenggara lainnya.
Kebocoran data diduga dari alat sadap hibah Australia
Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring telah memastikan hanya aparat penegak hukum (APH) yang berwenang melakukan penyadapan, yang meliputi Gate Way KPK, Kepolisian, Kejaksaan, BIN dan BNN. Namun begitu, Pengamat Telematika Heru Sutadi justru mengkritisi akan potensi kebocoran informasi bisa jadi berasal dari APH.
Menurut Heru yang juga Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, justru yang harus segera dilakukan pemerintah adalah menghentikan sementara koneksi sadap dari APH ke operator telekomunikasi. Sebab ditengarai penyadapan oleh Australia terhadap Indonesia dilakukan melalui sejumlah alat yang dihibahkan ke pemerintah Indonesia. Oleh karena itu, Heru mendesak untuk mengevaluasi alat yang dihibahkan tersebut.
Menurut catatan lembaganya, penyadapan yang dilakukan Australia ke sejumlah elite pemerintah Indonesia pada 2009 lalu, melalui alat intersepsi yang dihibahkannya ke Detasemen Khusus (Densus) 88 pada 2001 silam. Alat yang bertujuan untuk melacak teroris itu dikabarkan telah dibenamkan aplikasi XKeyscore yang digunakan untuk menyadap.
"Ini perlu ditelusuri akan peraNgkat yang dimanfaatkan untuk remote interception. Bahkan, jangan lupa juga hibah lainnya berupa laboratorium digital forensic yang juga perlu diselidiki," ungkapnya.
Apa yang disampaikan Heru senada juga dengan yang disampaikan Anggota BRTI M. Ridwan Effendi. Menurut Ridwan yang merupakan ahli teknologi penyadapan, dijelaskan bahwa dalam sistem yang terbangun sekarang, operator lebih bersifat pasif.
"Proses marking target (penentuan target yang disadap-red.) dilakukan secara remote (jarak jauh-red.) oleh Aparat penegak hukum (APH). Operator melakukan perekaman sebagai pembanding jika diminta atau secara sistem tidak memungkinkan dilakukan remote interception, seperti pada keadaan yang akan diintersepsi adalah nomor dari PSTN dg sistem elektro mekanik," jelas Ridwan.
Menurut ahli intersepsi itu, ada peluang bahwa Indonesia kecolongan dari tersadap dari perangkat yang dimiliki aparat penegak hukum. "Dugaan saya, ada peluang kecolongan dari perangkat yg dimiliki APH yang memungkinkan remote monitoring dari pembuat alat tersebut. "Terlebih kita pernah menerima hibah sistem intersepsi dari negara tetangga tersebut," ungkap Ridwan.
Dugaan lainnya, tambah Ridwan, kemungkinannya adalah dari penjual ponsel, yang dengan sengaja menginjeksikan software monitoring. "Software ini banyak dijual, yang dipakai misal suami memonitor istri atau sebaliknya. Software ini banyak dijual di pertokoan. Tapi kemungkinan ini kecil karena pasti pembelian ponsel ini tidak sembarangan," papar Ridwan.
Menurut Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Pol Ronny F Sompie, pihaknya akan mengantisipasi adanya penyadapan yang dilakukan oleh pihak asing, khususnya Amerika dan Australia terhadap peralatan yang dimiliki oleh Polri.
"Kami sangat bergantung pada IT, (khususnya) dengan IT yang diproduksi dari luar negeri. Apakah IT yang kami beli, ataupun menjadi hibah dari negara yang membantu Kepolisian Indonesia, untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang sifatnya mendukung penyidikan termasuk Densus 88 harus kami antisipasi," kata Ronny,
Dijelaskannya, Mabes Polri meyakini Kepala Densus 88 Anti Teror Mabes Polri sudah mengetahui penyadapan tersebut. "Saya kira, Kepala Densus 88 pada saat di bawah Bareskrim Mabes Polri, sudah dari awal mengetahui kemungkinan-kemungkinan disadap. Saya harus menanyakan, apakah ada kemungkinan data yang ada di Densus 88 itu tersadap? dan terekam sehingga bisa disalah gunakan untuk kepentingan negara lain, termasuk dari Australia. Jika memang diketahui ada kegiatan penyadapan di perlengkapan milik Densus 88 Anti Teror, maka Polri akan mengevaluasi perlengkapan tersebut," tegas Ronny kepada wartawan. (sardem on merdeka.com)